Suara guratan krayon terdengar di
ruangan berwarna biru muda. Dencitan ayunan di luar pun tak kalah menyumbangkan
suara. Beberapa anak berlarian dan tertawa, terlihat begitu senang dalam
candanya. Suara dentingan piano yang tadinya terdengar seperti instrument Fur
Elise milik Beethoven, tiba-tiba memudar dan menjadi tak beraturan namun
estetis. Seorang anak sedang mencari melodinya di dalam piano mainan itu, anak
yang memiliki bakat bermusik yang nantinya akan dengan baik berkembang. Yang
lainnya asik memegang buku-buku di dalam ruangan ini. Beberapa helai rambut
terlihat terjatuh dan mengotori lantai ruangan. Sosok-sosok kecil, berambut
jarang, berpipi tebal dan terkadang bertubuh asimetris menghuni ruangan ini
dengan begitu cerianya. Ruang bermain dari sebuah bangsal anak, di mana aku
akan melakukan sebuah penelitian. Sepertinya sulit, namun juga mudah. Karena mereka
anak-anak, namun, bukan anak-anak biasa.
Thalasemia, leukemia, DRA,
hemophilia, hernia, lemah jantung, demam berdarah… Ahhh, ternyata mudah saja
menanyai mereka tentang hal-hal yang ingin aku tahu, mungkin karena mereka
masih didampingi orang tua masing-masing. Aku tersenyum di sepanjang lorong
bangsal melati dan cempaka mulya. Ah, tunggu, masih ada ruang terakhir di kamar
nomor tujuh. Kulihat sebuah papan di jendela, bertuliskan;
Hujan Hayu W.
dr. Albertus Agung K. sp.ak
|
Dokter Agung? Mungkin seorang pasien
thalasemia atau leukemia, yang jelas, ia pasti memiliki masalah dengan
darahnya. Aku mulai mengetuk pintu di bangsal VIP nomor tujuh itu, lalu
kudengar suara dari seorang perempuan muda, dan kudengar alunan lagu dari
Coldplay berjudul A Message dari
dalam ruangan.
“Yap, masuk!”
Aku mulai membuka pintu dan melirik
kursi penunggu di dinding yang sejajar dengan pintu, kosong, namun di meja
terdapat laptop yang masih menyala dan mengalunkan musik. Lalu aku mulai membuka
pintu lebih lebar lagi, dan kulihat seorang perempuan muda sedang duduk di
tempat tidur pasien. Aku mengernyit heran. Perempuan itu menoleh padaku,
tersenyum dengan basa-basi, aku pun membalas senyumannya dan duduk di kursi
sebelah ranjang yang ia tempati. Aku mulai menyapanya.
“Selamat pagi.”
“Iya, pagi.”
Aku diam sejenak, bingung harus
berkata apa. Aku tidak merasa mendengar suara pasien yang sekarat, tidak juga
seperti berhadapan dengan seorang pasien yang begitu mempermasalahkan hidupnya.
Dia juga tidak seperti berusaha terlalu keras dalam menyenangkanku. Namun ada
kesenangan yang begitu aneh saat aku berhadapan dengan perempuan muda yang
harusnya seorang pasien ini.
Kulihat wujudnya yang begitu biasa,
tidak jauh berbeda dengan perempuan lain yang telah kutemui selama ini. Tapi
begitu berbeda dibandingkan pasien-pasien di bangsal ini. Rambut yang lebat hitam
kecoklatan dan panjang ikal, alis yang disikat rapi, wajah yang sepertinya
dirawat dengan baik walaupun bukan wajah putih seperti yang biasa diinginkan
oleh perempuan dan laki-laki kebanyakan, bibir pucat yang menggunakan pelembab
walau masih terlihat pecah, bau tubuh yang lembut, seperti bau vanilla, baju
santai merah muda longgar yang terlihat anggun dan seperti bukan seorang
pasien. Ah, tali baju dalamnya dibiarkan terlihat begitu saja pula. Bila tanpa
infus di tangan kanannya, tak akan ada seorangpun yang tau bahwa ia seorang
pasien. Selain bahwa pipinya sedikit agak tebal dibanding proporsi tubuhnya
yang kecil, efek dari penkonsumsian obat bernama prednicson mungkin. Matanyapun begitu tajam dan cerdas. Ah! Belum-belum
malah aku yang merasa takut ditelanjangi, sialan! Kulihat dia menutup sebuah buku
tebal dan menaruhnya di samping bantal.
“Hai! Aku Hujan.”
Katanya sembari tersenyum dan
menyodorkan tangan kanannya. Aku terkejut dan gelagapan membalas uluran
tangannya.
“Oh! Ah, amm.. oh iya, saya Galih.”
Kataku sembari tersenyum dan
menjabat tangan kanannya dengan sangat hati-hati karena keberadaan kabel infus
itu. Aku melirik kabel infusnya, pemandangan yang begitu aneh, ada banyak bercak
darah menghuni selang di dekat uratnya. Harusnya ia seorang kidal, namun
sepertinya ia melakukan banyak aktivitas dengan tangan kanannya. Aku hendak
menanyakan tentang buku yang ia baca, ketika tiba-tiba Hujan, begitu namanya
disebut, justru bertanya padaku,
“Mas Galih sedang nulis apa
sekarang?”
Belum selesai pertanyaan-pertanyaan
di dalam otakku, Hujan sudah menanyai aku pertanyaan yang begitu mengejutkan.
Dan caranya bertanya padaku begitu santai dan seolah tanpa beban. Kali ini aku
bertemu seorang pasien, dan aku terkejut. Baiklah, cukup menarik. Lalu aku
menjawab,
“Nulis apa ya maksud Hujan?”
“Nulis tentang saya, dan anak-anak
di bangsal ini. Udah punya hipotesis apa? Mas Galih sedang ambil psikologi
klinis kan?”
Tanya Hujan tanpa basa-basi.
“Oh, sebentar…” aku menghela napas
sebentar lalu tertawa kecil.
“Hujan bisa tau saya ambil psikologi
klinis dan sedang nulis?”
Aku
mengernyit kepadanya. Dia turut mengernyitkan dahinya ke arahku, terlihat
matanya yang berkilauan, dan sudut bibir kirinya yang sedikit diangkat. Aku
merasa seakan tak mengenakan pakaian apapun di hadapannya. Aneh sekali, dia
seperti sebuah bahaya bagiku. Dia mengusap rambut kirinya, mendekatkan
kepalanya ke arah tempatku duduk.
“Emang mas Galih ga bisa liat saya?
Ayolah.” Katanya sembari tertawa kecil.
Melihatku
yang tak terlihat ingin menjawab dan justru menantikan jawabannya, ia lalu
melanjutkan.
“I don’t like to be stolen.” Katanya
dalam bahasa Inggris.
“Mm..maksud Hujan?”
“Yah, kurang suka aja, kalau ada
orang yang nulis tentang aku, tapi aku ga dikasih tau. Ngerti?”
“Oh, Okay. Hujan kuliah ya?”
“Yap.”
“Ambil jurusan apa? Kalau boleh tahu.”
“Sastra Inggris.”
Jadi pasien ini bukan anak-anak, ah,
perlakuannya harus berbeda. Daripada aku harus ditelanjangi seperti ini.
Sepertinya aku harus membiarkannya merasa menang dahulu.
“Okay, Hujan. Saya memang sedang bikin pembuktian thesis saya tentang…”
“Oh, jadi bener mas Galih sedang
nulis tentang saya dan pasien-pasien di bangsal Cempaka Mulya kan?”
Sial, belum juga kukeluarkan senjataku,
dia sudah melumpuhkannya.
“Ammmm, iya. Sebenarnya seluruh
bangsal anak sebagai populasi.”
“Cukup kalau gitu.”
“Hah?!”
Tanyaku dengan begitu heran dan
dengan nada yang agak tinggi. Sial, aku kelepasan.
“Ah, maaf Hujan, saya kelepasan.
Maksud Hujan dengan cukup tadi apa ya?”
Tanyaku dengan nada yang jauh lebih
lembut. Kulihat Hujan tertawa lepas namun tidak keras. Dia lalu mendekatkan
kepalanya lagi ke arah aku duduk. Ia tersenyum kecil dan berkata.
“Cukup buat aku tahu, kalau ada
orang yang ngambil aku sebagai bahan tulisan dia. At least, aku ngerti. Itu
udah cukup, tengs ya.”
Katanya
sembari tersenyum, sambil menjauhkan wajahnya, dan kulihat pupil matanya tetap
kecil, detakan jantungnya dan hembusan napasnya tidak sedikitpun bisa kurasakan.
Emosinya begitu stabil. Sialan! Umpatku dalam hati. Lalu aku menunduk dan
tersenyum sembari membuka map yang berisi catatan tentang pasien-pasien di
bangsal anak. Kulihat Hujan melirikku dengan pandangan pisau yang menyakitkan. Aku
menghela napas dan ingin menanyainya sesuatu, ketika justru dia yang berkata,
“Aku
sedang sibuk, maaf banget.”
Kulihat
dia mengangkat sebuah buku tebal yang dia taruh tadi untuk ditunjukkan padaku,
Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer. Aku menimpali.
“Oh,
fine. Tapi, anyway itu kan buku jadul
banget ya?”
Hujan
tersenyum dan mata berkacanya menyipit. Ia lantas berkata padaku,
“Banget.
Udah ketujuh kalinya aku baca buku ini. Pertama kali baca waktu SD kelas 4.”
Aku
terhenyak dan merapatkan bibirku, lalu berkata padanya,
“Hmmm,
sampai ketemu besok Hujan.”
Ia
pun tersenyum, kami berjabat tangan sebelum akhirnya aku menutup pintu kamarnya.
Di dalam ruangan koas, aku menuliskan tiga buah tanda tanya besar pada kolom
catatan pasien dengan nama Hujan Hayu Wigati. Nama yang begitu asing dan tidak
biasa.
***
Pagi
ini aku berangkat ke rumah sakit seperti biasanya. Dalam perjalanan, suara
kendaraan di luar mobil begitu mengganggu pikiranku. Aku keraskan musik agar
suara-suara kendaraan tidak membuat moodku semakin hancur. Mana mungkin seorang
psikolog salah tingkah di hadapan pasien hanya karena mood yang tidak stabil.
Ah! Salah tingkah? Salah tingkah? Kemarin aku mengalaminya. Gadis berambut
panjang yang dengan seenaknya mempermainkanku di ruangannya.
Omong-omong
tentang pasien bernama Hujan itu, kemarin aku bertanya pada koas Seno tentang
penyakit yang dideritanya. Hujan adalah seorang penderita JRA (Juvenile
Rheumatoid Arthritis) Polyarticular. Sebuah penyakit auto imunitas yang sangat jarang
diderita di negara ini. Penyakit ini hanya diderita kebanyakan anak perempuan
di bawah 16 tahun. Penyakit ini tidak terlalu parah. Yang membuat Hujan, dalam
usia 21 masih menerima pengobatan adalah karena salah diagnosa selama satu
tahun saat ia pertama kali melakukan cek laboratorium saat usianya 11 tahun.
Seorang
ahli anak, yang telah memiliki jabatan professor pediatri, mendiagnosanya
sebagai penderita penebalan katup jantung, yang mengharuskannya meminum penoximethyl penicillin seumur hidupnya,
serta agar dia sering beristirahat demi kesehatan jantungnya. Bila penyakitnya
memang benar, maka itu adalah tindakan yang baik dan paling benar untuk
kesehatannya. Namun, dalam kasus Hujan, perlakuan macam itu akan membunuhnya
perlahan namun pasti, karena antibiotik itu justru akan memperburuk kondisi
darahnya, dan istirahat yang berlebihan akan membunuh kelenturan dan kekuatan
persendiannya serta otot-ototnya. Dalam hal ini, kasus Hujan benar-benar unik.
Seorang perawat yang sudah hafal betul dengan Hujan berkata padaku bahwa Hujan
sempat mengalami masa yang sangat sulit. Hujan yang aku lihat sekarang adalah
salah satu keajaiban, katanya, karena ia terlihat cantik dan sempurna, seperti
tanpa memiliki penyakit apapun. Namun dia tidak menceritakan padaku tentang
detail dari ceritanya, karena keburu malam dan perawat bernama Ibu Nyoman itu
telah keburu dijemput anaknya untuk pulang.
Untuk
pertama kalinya dalam hidupku aku merasa tertantang untuk mengetahui tentang
seseorang. Biasanya tidak semenantang ini. Gadis itu begitu sulit dibaca.
Mungkin aku harus berteman dengannya, agar bisa mengetahui kisahnya, dan
menghapus tiga tanda tanya besar dalam kolom pasien yang bertuliskan namanya.
Toh, umur kami tidak beda jauh, seharusnya aku akan lebih mudah mengajaknya
bicara, terlebih lagi ia terpelajar. Terpelajar? Itu kelebihan bagi Hujan,
bukan untukku. Aku bisa terbunuh dengan pikiran-pikiran dan cara dia
menanggapiku bila aku tak pintar-pintar memainkan situasi.
Ah,
sebentar. Apa yang terjadi denganku? Mengapa aku begitu ingin tahu dan
repot-repot menyusun strategi? Tidak, ini bukan apa-apa. Ini semua hanyalah
satu bentuk obsesi biasa, rasa penasaran biasa yang terdorong oleh profesiku
sebagai seorang psikolog. Tentu saja aku ada untuk menyelesaikan masalah
psikologis yang dialami pasien. Ah, apa yang aku pikirkan. Tumben sekali
pikiranku salah tingkah. Tiba-tiba aku merasa begitu bodoh.
Aku
memarkir mobilku di parkiran biasa, lalu berjalan ke bangsal anak seperti biasa
pula. Tidak semua ruangan aku kunjungi. Maksudku, tidak benar-benar setiap hari
aku mengunjungi pasien. Paling tidak, bila pasien itu telah mengalami
peningkatan psikis dan atau aku telah merasa mereka baik-baik saja, maka aku
tidak merasa perlu mengunjunginya tiap hari. Kali ini aku berada di ruangan
koas dan mendengar mereka membicarakan pasien-pasien, terutama Hujan. Karena ia
adalah pasien yang terlihat paling berbeda dan tentu saja usianya sudah tidak
bisa dibilang anak-anak lagi. Dan satu hal, mereka semua penasaran dengan
Hujan. Ah, baiklah, aku lebih penasaran. Maka setelah aku mengunjungi beberapa
ruangan, aku mengunjungi Hujan di ruangannya.
Bangsal
VIP Cempaka Mulya no 7. Ruangan yang sama yang kemarin masih ditinggali oleh
Hujan. Aku mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban. Karena penasaran, aku
mengintip dari jendela. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dan,
“Whoaaa!”
Aku
menjerit kaget hingga map-map di tanganku jatuh ke lantai. Saat aku berbalik,
kudapati Hujan sedang berdiri tepat dihadapanku dan tertawa-tawa sambil
memegang infusnya. Selintas kulihat tingginya tepat di bawah rahangku. Dan saat
ia mencoba berjongkok untuk membantuku mengambil kertas-kertas yang berantakan,
aku mencegahnya.
“Whoa
whoa, Hujan. Udah ga usah, aku aja.”
“Hey,
fine, I insist. Aku juga yang salah ngagetin kamu, hahaha”
Aku
mencegahnya, dan tumben, ia menurut
saja. Setelah aku punguti semua kertas yang jatuh tadi, aku membukakan pintu
dan Hujan masuk duluan, lalu aku. Dia tersenyum lalu berterimakasih. Kemudian
aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Kemudian kulihat ia cuci tangan di
wastafel tepat di depanku. Kulihat dia mengenakan celana pendek warna biru dan
lagi-lagi kaos longgar lengan panjang berwarna senada. Rambutnya digerai
sepunggung dan berombak dan wajahnya sudah bersih saja pagi ini. Bibirnyapun
diberi pelembab, namun tetap saja, pecah di bibirnya tak bisa membohongi suhu dalam
tubuhnya yang sebenarnya. Entah apa, namun ia terlihat begitu menarik. Ah,
bodoh! Psikolog macam apa aku ini! Tanpa sadar aku memukul kepalaku sendiri,
Plak!
Hujan
menengok ke arahku dan terkejut,
“Loh,
ada apa? Mas Galih?”
Dan
aku masih bengong saja dengan sikap santainya yang sebenarnya agak kurang ajar
itu.
“Ah,
maaf, tadi ada nyamuk.”
“Oh.”
Kulihat
ia menggantung infusnya di tiang infus dan berjalan ke arah sofa di samping
televisi, lalu mematikan televisi itu. Hujan lalu membuka kulkas dan mengambil
sekotak sari kacang hijau, ia juga mengambil satu yang tidak dimasukkan di
kulkas. Ia menyodorkan sekotak dingin untukku. Dan dengan tololnya aku hanya
duduk bengong di kursi tanpa membantunya memindah tiang infus itu.
“Nih,
mas, buat kamu.”
Aku
masih bengong.
“Mas?”
Hujan
menempelkan kotak sari kacang hijau dingin itu di salah satu tanganku dan aku
terkejut,
“Eh,
ah, oh. Iya, makasih.”
Ia
tersenyum, dan bukannya tidur di kasur pasien, ia malah duduk-duduk santai di
sofa. Lalu ia mulai meminum sari kacang hijau itu dan berkata padaku,
“Aku
sedang ga sibuk nih, lagi ga baca buku, anda psikolog kan? I’m sure you’ve got questions.”
“Oh,
iya. Saya ga ganggu kan?”
“Enggak
mas, santai aja.”
Aku
melihat sekeliling ruangan ini. Aku bingung mengapa Hujan sendirian saja,
kemarin dan hari ini. Maka aku bertanya padanya.
“Mama
papa kamu ga nungguin kamu opnam?”
“Enggak
mas, aku lebih suka sendirian kalau pas terapi gini. Lagian kasian juga mereka,
entar capek lagi. Orang akunya sendiri aja juga bisa kok, udah gede ini.”
Aku
mengangguk-angguk perlahan sembari meminum minuman yang diberikan Hujan untukku,
walaupun aku bukan penggemar kacang hijau.
“Kamu
masih tinggal sama orangtua kamu kan Hujan?”
Aku
melihatnya mempermainkan sedotan minuman kotak yang diminumnya tadi. Dia
tersenyum kepadaku dan berkata,
“Enggak,
mas. Aku ngontrak rumah sendiri. Aku tinggal sendiri. Nyari yang deket kampus.”
Agak
terkejut aku mendengar jawabannya. Namun aku berusaha menanggapinya dengan biasa-biasa
saja.
“Wow,
mandiri banget ya.”
“Haha,
ya harusnya gitu mas. Survive.”
Aku
mengangguk lalu melanjutkan.
“You’ve
got some job?”
Hujan
mengangguk.
“What
is it?”
“Writer.”
Aku
tersedak sari kacang hijau yang sedang ku minum. Dan Hujan hanya tersenyum geli
memperhatikan tingkahku. Aku begitu terkejut. Hujan adalah seorang pasien JRA
selama sepuluh tahun, penulis dan aku tidak tahu? Baiklah. Perempuan ini
benar-benar penuh kejutan.
“Wow,
seriously? Published author?”
“Yap.”
“Genrenya?”
“Emmm…
sama kaya lukisanku, mas. Surreal. Banyak realisnya juga sih kadang. Tapi
mostly tentang orang yang sakit jiwa tapi ga ngerasa. Eksplorasi karakterisasinya
akhirnya ya pake diskripsi surreal.”
Aku
terkejut dengan penjelasannya.
“Oh,
kamu juga ngelukis? Boleh aku liat?”
“Boleh
banget.”
“Kamu
bawa lukisannya?”
Hujan
menggeleng.
“Yeah,
fine.” kataku.
“Enggak
di ruangan ini sih, ada di parkiran.”
“Kok
di parkiran?”
“Motorku
di parkiran mas, masak iya aku bawa di ruangan ini sih? Duh.”
“Maksud kamu, kamu opnam sendiri di
sini? Dan kamu bawa motor sendiri?”
“Iya, mau gimana lagi? Toh cuma
terapi methyl prednisolon ini kok.”
“Emmm, okay okay. Jangan-tangan tadi
kamu keluar buat manasin motor ya?”
“Yap.”
Entah apa yang harus aku katakan kali ini.
Hujan memang benar-benar mengejutkan, terlalu mengejutkan untuk seorang pasien
penyakit kronis. Lalu aku melihat jam dinding, jam 11 pagi. Artinya dia telah
mendapat infus obat tadi pagi jam 8-9 dan sekarang dia sudah bebas untuk
melakukan apapun sampai jam 4 sore. Lalu dia bertanya padaku,
“Yuk mas, jadi ke parkiran?”
Aku bengong dan bertanya,
“Kaki kamu ga sakit ya? Nanti kalo
capek gimana? Gini aja, aku bawa kunci kamu, kamu kasih tau platnya terus aku
ambil lukisan kamu, gimana?”
“Hmmm, udah hampir makan siang mas.”
“So?”
“Aku bosen makan makanan rumah sakit
terus, gimana kalau sekalian makan di kafetaria aja? Kalau mas ga mau, fine.
Aku makan sendiri, hehehe.”
Dalam hati aku mengeluh, wah!
“Duh, kamu ini pasien bandel ya
kayanya. Mending sama aku aja sini, daripada sendirian gotong-gotong infus
gitu, aku ngeri liatnya ih. Aku bawain tiang infus sekalian ya? Di kafetaria ga
ada tiang infus loh.”
“Ya ampun, gampang kalik, tinggal
gantungin di paku aja kan ada, hehehe”
Aku menggeleng-geleng sambil tersenyum
melihat keanehan sikap sekaligus sifatnya itu. Dan satu hal, tunggu sebentar…
apa yang aku lakukan kali ini? Aku sedang menggotong tiang infus setelah
meninggalkan mapku di ruang koas. Menggotong tiang infus dari ruang bangsal ke
parkiran dan kembali lagi melewati bangsal untuk ke kafetaria yang penuh dengan
dokter dan koas yang sedang makan siang di sana dan aku ke sana dengan seorang
pasien? Aneh memang, namun rasa penasaranku lebih menyiksa. Hujan adalah
seorang pasien yang terlalu ceria. Dan aku tahu, mungkin saja aku salah
tentangnya.
Sesampainya di parkiran, Hujan
membuka jok motornya. Kulihat sebuah motor otomatis kekinian terparkir di sana.
Lalu ia menyodorkan padaku sebuah sketch book miliknya.
“Nih, kamu boleh liat sekarang.”
Aku celingukan mencari tempat duduk.
Melihatku celingukan Hujan juga ikut menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu dia
menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kiri dan berkata,
“Ada apa mas?”
“Enggak, cuma bingung aja kok ga ada
kursi di sini, takutnya kamu capek. Kamu capek gak?”
“Enggak kok. Yuk, langsung ke
kafetaria aja?”
“Okay.”
Di
kafetaria rumah sakit, Hujan hanya memesan teh hangat dan sandwich
sayur-sayuran. Aku melihatnya dengan begitu heran. Sepertinya makanan yang ia
makan justru tidak seenak yang disediakan oleh bangsal anak. Aku begitu
tergelitik untuk bertanya,
“Sandwichnya ga pake daging ya
Hujan? Harusnya kan ada dagingnya kan?”
Ia meringis sambil mengunyah
makanannya dengan santai di hadapanku, di hadapan wajahku. Pasien kurang ajar,
namun aku memaafkannya. Ia berkata sembari mengunyah,
“Aku ga tega bayangin pas hewannya
disembelih, mas.”
Aku mengernyit heran. Dia
meneruskan.
“Bukan berarti nyembelih hewan itu generally jahat loh, aku cuma ga tega
nancepin gigiku di kaki, paha, dada dan apapun punyanya sapi, ayam atau
kambing, ga tega aja. Dan menurutku daging itu rasanya penuh banget di perut,
hehehe.”
Tiba-tiba bakso goreng di mulutku
terasa begitu aneh. Namun tetap kutelan.
“Jadi kamu semacam vegan?”
Ia menggeleng.
“Aku masih minum susu dan makan keju
kok. kadang pas bisa tega ya makan ikan juga.”
Aku mengangguk, tidak mengerti. Kami
berdua terdiam sembari makan, terkadang ada teman-teman dokter atau koas yang
datang menghampiriku dan merangkul pundakku atau mengelus-elus kepalaku. Ah,
aku mengerti maksud gesture macam ini. Namun aku tidak mempedulikannya
sedikitpun. Aku sedang melakukan pekerjaanku, dan memuaskan rasa penasaranku
terhadap pasien ajaib ini.
Setelah makananku habis, aku lihat
Hujan hanya terdiam sambil sesekali melihat sekeliling. Ada sebuah televisi
besar di sebelah kiri depannya, namun ia terlihat sama sekali tidak tertarik
dengan alat datar dan lebar itu. Aku bertanya.
“Kamu ga suka nonton tv ya?”
“Suka kok, tapi tv lokal dan paling
tv negara, acaranya waras. No one’s hurt for a stupid joke.”
Aku terkekeh dengan pernyataannya,
dan ia hanya memutar matanya. Perhatianku beralih pada sketch book miliknya.
Aku mulai buka lembar demi lembar. Lukisan pertama adalah sebuah sketsa wajah
perempuan hitam putih. Wanita itu berambut pendek dan lurus, ia tak memiliki
mulut. Di lembar selanjutnya, aku melihat gambar yang pewarnaannya tidak masuk
akal dilihat dari objek yang digambarnya, yaitu sebuah tangan yang mengepal,
dan tiga gunung di bawahnya. Di gambar selanjutnya aku melihat sebuah kuas
kabuki, kuas untuk kosmetik, pewarnaanya begitu realis, namun lingkungan sekitar
kuas itu tidaklah realistis sama sekali, warna merah muda tanpa pola tercecer
di sekitar kuas itu sebagai sebuah aurora, menarik, pikirku. Di belakangnya
lagi kutemukan sebuah lukisan yang berdasar dada dan perut wanita secara penuh,
namun si sisi kanan terdapat pohon jati dengan pewarnaan naturalis, di bagian
bawah, terdapat danau dengan pewarnaan yang naturalis juga. Sayangnya aku tidak
mengerti, mengapa ia memilih warna merah muda lagi sebagai kain transparan yang
menutup sebagian perut wanita itu. begitulah jenis-jenis lukisannya yang begitu
aneh dan surreal.
Sampai
akhirnya aku tiba di bagian paling belakang dari sketch book itu dan menemukan
lukisan yang menurutku menarik. Dua orang laki-laki dan perempuan duduk
bersamaan di tanah lapang berwarna cokelat dengan gradasi warna yang begitu
naïf. Langit yang ditatap kedua orang itupun berbeda warna, pada sisi kiri,
tempat si perempuan, warnanya hijau. Sedangkan pada sisi kanan, tempat langit
si laki-laki, warnanya merah tanpa gradasi apapun. Di belakang mereka terdapat
satu kuburan yang diberi warna merah bata. Mataku mengernyit melihat lukisan
itu, ketika kemudian aku mendengar Hujan berkata,
“Boring banget ya pasti kerja di
rumah sakit? Do you have fun?”
Aku meliriknya dan berfikir sejenak.
“Yes, I do. Kuliah dan kerja di
psikologi itu salah satu hal baru yang nyenengin buat aku sih. Kadang boring
juga. Kamu gimana? Studi kamu sastra inggris kan? Memang minat di situ ya?”
Hujan tersenyum, lalu menjawab.
“Sebenernya kalo ngomongin minat,
bingung juga sih. Dulu aku ngedaftar di psikologi ga diterima sebenernya.
Diterimanya di sastra inggris, hehehe”
Dia berkata sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Aku merasa agak terkejut dengan jawabannya. Ternyata dia ingin
kuliah di jurusan psikologi. Ah, aku harus lebih berhati-hati. Belum juga aku
menjawab, dia sudah mengatakan.
“Sebenernya, kalo ngomongin minat
yangbener-bener minat, ya di sastra Indonesia. Tapi daftar pun enggak, ya udah
refreshing dikitlah di sastra inggris, hahaha”
“Kuliah kamu anggap refreshing?
Aneh-aneh aja deh Jan, haha”
“Bener kok tapi, hidupku datar sih
mas, gini-gini aja, ga ada yang menarik. Di dalam kuliah kan kita nemu banyak
kesulitan. Skripsi tuh contohnya. Kadang kesel sama skripsi, tapi pas ngerasa
kesulitan, justru di situlah aku ngerasa hidup.”
Katanya sambil melirik kepadaku dan
tersenyum. Hatiku bergetar oleh ucapannya yang begitu jujur namun kurang benar.
Makin menarik saja dia.
“Hmmm, kamu kenapa dulu kok pengen
kuliah di psikologi?”
“Karena aku bisa bikin temen-temenku
ngerasa lebih baik pas mereka down. Dan, kadang, pas lagi jahat aku bisa bikin
orang-orang yang jahat sama aku, atau temen-temenku down, atau maksimal,
depresi. Yang terakhir, sebenernya dulu, aku pingin banget jadi dokter, tapi ga
kuat di matematika dan kimia, hehehe.”
“Serius?”
“Banget.”
“Hahaha, lucu ya?”
Kulihat dia hanya tersenyum. Aku
berfikir, dia tidak akan pernah sejujur ini dengan orang lain, bila dia memang
memiliki karakter yang dia bilang kepadaku. Mungkin dia melakukannya dengan
sengaja. Menyebalkan, tapi aku menikmatinya. Lalu kulihat dia mengambil pensil
di selipan sketch booknya dengan tangan kirinya. Lalu ia memandang wajahku
selama beberapa detik. Aku salah tingkah namun balas menatapnya, aku pura-pura
berani. Lalu ia berkata padaku.
“Aku boleh gambar kamu ga mas? Lagi
sepi objek nih.”
Aku bingung dan menggaruk-garuk
kepalaku, lalu berkata,
“Boleh sih.”
Kulihat ia tersenyum dan memegang
pensil 2B dengan tangan kiri. Sesekali ia menatapiku. Aku pura-pura tidak tahu
dan melihat ke sekeliling. Lalu aku melirik bukunya dan melihatnya menggambar
sebuah mata, kemudian dia berhenti menggambar dan menutup sketchbooknya. Aku
mengabaikannya, agar dia tidak merasa diawasi. Kudengar ia menghembuskan napas.
“Hmmm, baru ini yang bisa aku
gambar.”
“Satu mata?” tanyaku heran.
“Iya, baru itu yang bisa aku kenali
mas, hehehe.”
“Okay, semua butuh proses kok hujan,
iya kan?”
“Yap.”
Setelah kejadian di kantin hari ini,
aku berniat menemuinya besok, karena Hujan masih akan melakukan terapinya dalam
waktu 5 hari lagi. Cukup banyak waktu untuk menanyainya banyak hal. Dan besok
lusa, karena besok hari minggu dan libur, aku akan mulai menanyainya tentang
JRA. Aku yakin dengan penuh bahwa ia tak akan keberatan. Begitu banyak
keterbukaan yang sengaja Hujan lakukan, aku merasakannya, meski aku belum
mengerti tujuannya melakukan hal itu. Namun, tak semua hal harus segera
dimengerti. Beberapa hal perlu penggalian untuk ditemukan. Aku akan mencoba.
Tantangku kepada diri sendiri.
***