Senin, 17 November 2014

Hugala



            Suara guratan krayon terdengar di ruangan berwarna biru muda. Dencitan ayunan di luar pun tak kalah menyumbangkan suara. Beberapa anak berlarian dan tertawa, terlihat begitu senang dalam candanya. Suara dentingan piano yang tadinya terdengar seperti instrument Fur Elise milik Beethoven, tiba-tiba memudar dan menjadi tak beraturan namun estetis. Seorang anak sedang mencari melodinya di dalam piano mainan itu, anak yang memiliki bakat bermusik yang nantinya akan dengan baik berkembang. Yang lainnya asik memegang buku-buku di dalam ruangan ini. Beberapa helai rambut terlihat terjatuh dan mengotori lantai ruangan. Sosok-sosok kecil, berambut jarang, berpipi tebal dan terkadang bertubuh asimetris menghuni ruangan ini dengan begitu cerianya. Ruang bermain dari sebuah bangsal anak, di mana aku akan melakukan sebuah penelitian. Sepertinya sulit, namun juga mudah. Karena mereka anak-anak, namun, bukan anak-anak biasa.
            Thalasemia, leukemia, DRA, hemophilia, hernia, lemah jantung, demam berdarah… Ahhh, ternyata mudah saja menanyai mereka tentang hal-hal yang ingin aku tahu, mungkin karena mereka masih didampingi orang tua masing-masing. Aku tersenyum di sepanjang lorong bangsal melati dan cempaka mulya. Ah, tunggu, masih ada ruang terakhir di kamar nomor tujuh. Kulihat sebuah papan di jendela, bertuliskan;

Hujan Hayu W.
dr. Albertus Agung K. sp.ak
 



            Dokter Agung? Mungkin seorang pasien thalasemia atau leukemia, yang jelas, ia pasti memiliki masalah dengan darahnya. Aku mulai mengetuk pintu di bangsal VIP nomor tujuh itu, lalu kudengar suara dari seorang perempuan muda, dan kudengar alunan lagu dari Coldplay berjudul A Message dari dalam ruangan.
            “Yap, masuk!”
            Aku mulai membuka pintu dan melirik kursi penunggu di dinding yang sejajar dengan pintu, kosong, namun di meja terdapat laptop yang masih menyala dan mengalunkan musik. Lalu aku mulai membuka pintu lebih lebar lagi, dan kulihat seorang perempuan muda sedang duduk di tempat tidur pasien. Aku mengernyit heran. Perempuan itu menoleh padaku, tersenyum dengan basa-basi, aku pun membalas senyumannya dan duduk di kursi sebelah ranjang yang ia tempati. Aku mulai menyapanya.
            “Selamat pagi.”
            “Iya, pagi.”
            Aku diam sejenak, bingung harus berkata apa. Aku tidak merasa mendengar suara pasien yang sekarat, tidak juga seperti berhadapan dengan seorang pasien yang begitu mempermasalahkan hidupnya. Dia juga tidak seperti berusaha terlalu keras dalam menyenangkanku. Namun ada kesenangan yang begitu aneh saat aku berhadapan dengan perempuan muda yang harusnya seorang pasien ini.
            Kulihat wujudnya yang begitu biasa, tidak jauh berbeda dengan perempuan lain yang telah kutemui selama ini. Tapi begitu berbeda dibandingkan pasien-pasien di bangsal ini. Rambut yang lebat hitam kecoklatan dan panjang ikal, alis yang disikat rapi, wajah yang sepertinya dirawat dengan baik walaupun bukan wajah putih seperti yang biasa diinginkan oleh perempuan dan laki-laki kebanyakan, bibir pucat yang menggunakan pelembab walau masih terlihat pecah, bau tubuh yang lembut, seperti bau vanilla, baju santai merah muda longgar yang terlihat anggun dan seperti bukan seorang pasien. Ah, tali baju dalamnya dibiarkan terlihat begitu saja pula. Bila tanpa infus di tangan kanannya, tak akan ada seorangpun yang tau bahwa ia seorang pasien. Selain bahwa pipinya sedikit agak tebal dibanding proporsi tubuhnya yang kecil, efek dari penkonsumsian obat bernama prednicson mungkin. Matanyapun begitu tajam dan cerdas. Ah! Belum-belum malah aku yang merasa takut ditelanjangi, sialan! Kulihat dia menutup sebuah buku tebal dan menaruhnya di samping bantal.
            “Hai! Aku Hujan.”
            Katanya sembari tersenyum dan menyodorkan tangan kanannya. Aku terkejut dan gelagapan membalas uluran tangannya.
            “Oh! Ah, amm.. oh iya, saya Galih.”
            Kataku sembari tersenyum dan menjabat tangan kanannya dengan sangat hati-hati karena keberadaan kabel infus itu. Aku melirik kabel infusnya, pemandangan yang begitu aneh, ada banyak bercak darah menghuni selang di dekat uratnya. Harusnya ia seorang kidal, namun sepertinya ia melakukan banyak aktivitas dengan tangan kanannya. Aku hendak menanyakan tentang buku yang ia baca, ketika tiba-tiba Hujan, begitu namanya disebut, justru bertanya padaku,
            “Mas Galih sedang nulis apa sekarang?”
            Belum selesai pertanyaan-pertanyaan di dalam otakku, Hujan sudah menanyai aku pertanyaan yang begitu mengejutkan. Dan caranya bertanya padaku begitu santai dan seolah tanpa beban. Kali ini aku bertemu seorang pasien, dan aku terkejut. Baiklah, cukup menarik. Lalu aku menjawab,
            “Nulis apa ya maksud Hujan?”
            “Nulis tentang saya, dan anak-anak di bangsal ini. Udah punya hipotesis apa? Mas Galih sedang ambil psikologi klinis kan?”
            Tanya Hujan tanpa basa-basi.
            “Oh, sebentar…” aku menghela napas sebentar lalu tertawa kecil.
            “Hujan bisa tau saya ambil psikologi klinis dan sedang nulis?”
Aku mengernyit kepadanya. Dia turut mengernyitkan dahinya ke arahku, terlihat matanya yang berkilauan, dan sudut bibir kirinya yang sedikit diangkat. Aku merasa seakan tak mengenakan pakaian apapun di hadapannya. Aneh sekali, dia seperti sebuah bahaya bagiku. Dia mengusap rambut kirinya, mendekatkan kepalanya ke arah tempatku duduk.
            “Emang mas Galih ga bisa liat saya? Ayolah.” Katanya sembari tertawa kecil.
Melihatku yang tak terlihat ingin menjawab dan justru menantikan jawabannya, ia lalu melanjutkan.
            “I don’t like to be stolen.” Katanya dalam bahasa Inggris.
            “Mm..maksud Hujan?”
            “Yah, kurang suka aja, kalau ada orang yang nulis tentang aku, tapi aku ga dikasih tau. Ngerti?”
            “Oh, Okay. Hujan kuliah ya?”
            “Yap.”
            “Ambil jurusan apa? Kalau boleh tahu.”
            “Sastra Inggris.”
            Jadi pasien ini bukan anak-anak, ah, perlakuannya harus berbeda. Daripada aku harus ditelanjangi seperti ini. Sepertinya aku harus membiarkannya merasa menang dahulu.
            “Okay, Hujan. Saya memang sedang bikin pembuktian thesis saya tentang…”
            “Oh, jadi bener mas Galih sedang nulis tentang saya dan pasien-pasien di bangsal Cempaka Mulya kan?”
            Sial, belum juga kukeluarkan senjataku, dia sudah melumpuhkannya.
            “Ammmm, iya. Sebenarnya seluruh bangsal anak sebagai populasi.”
            “Cukup kalau gitu.”
            “Hah?!”
            Tanyaku dengan begitu heran dan dengan nada yang agak tinggi. Sial, aku kelepasan.
            “Ah, maaf Hujan, saya kelepasan. Maksud Hujan dengan cukup tadi apa ya?”
            Tanyaku dengan nada yang jauh lebih lembut. Kulihat Hujan tertawa lepas namun tidak keras. Dia lalu mendekatkan kepalanya lagi ke arah aku duduk. Ia tersenyum kecil dan berkata.
            “Cukup buat aku tahu, kalau ada orang yang ngambil aku sebagai bahan tulisan dia. At least, aku ngerti. Itu udah cukup, tengs ya.”
Katanya sembari tersenyum, sambil menjauhkan wajahnya, dan kulihat pupil matanya tetap kecil, detakan jantungnya dan hembusan napasnya tidak sedikitpun bisa kurasakan. Emosinya begitu stabil. Sialan! Umpatku dalam hati. Lalu aku menunduk dan tersenyum sembari membuka map yang berisi catatan tentang pasien-pasien di bangsal anak. Kulihat Hujan melirikku dengan pandangan pisau yang menyakitkan. Aku menghela napas dan ingin menanyainya sesuatu, ketika justru dia yang berkata,
“Aku sedang sibuk, maaf banget.”
Kulihat dia mengangkat sebuah buku tebal yang dia taruh tadi untuk ditunjukkan padaku, Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer. Aku menimpali.
“Oh, fine. Tapi, anyway itu kan buku jadul banget ya?”
Hujan tersenyum dan mata berkacanya menyipit. Ia lantas berkata padaku,
“Banget. Udah ketujuh kalinya aku baca buku ini. Pertama kali baca waktu SD kelas 4.”
Aku terhenyak dan merapatkan bibirku, lalu berkata padanya,
“Hmmm, sampai ketemu besok Hujan.”
Ia pun tersenyum, kami berjabat tangan sebelum akhirnya aku menutup pintu kamarnya. Di dalam ruangan koas, aku menuliskan tiga buah tanda tanya besar pada kolom catatan pasien dengan nama Hujan Hayu Wigati. Nama yang begitu asing dan tidak biasa.
***
Pagi ini aku berangkat ke rumah sakit seperti biasanya. Dalam perjalanan, suara kendaraan di luar mobil begitu mengganggu pikiranku. Aku keraskan musik agar suara-suara kendaraan tidak membuat moodku semakin hancur. Mana mungkin seorang psikolog salah tingkah di hadapan pasien hanya karena mood yang tidak stabil. Ah! Salah tingkah? Salah tingkah? Kemarin aku mengalaminya. Gadis berambut panjang yang dengan seenaknya mempermainkanku di ruangannya.
Omong-omong tentang pasien bernama Hujan itu, kemarin aku bertanya pada koas Seno tentang penyakit yang dideritanya. Hujan adalah seorang penderita JRA (Juvenile Rheumatoid Arthritis) Polyarticular. Sebuah penyakit auto imunitas yang sangat jarang diderita di negara ini. Penyakit ini hanya diderita kebanyakan anak perempuan di bawah 16 tahun. Penyakit ini tidak terlalu parah. Yang membuat Hujan, dalam usia 21 masih menerima pengobatan adalah karena salah diagnosa selama satu tahun saat ia pertama kali melakukan cek laboratorium saat usianya 11 tahun.
Seorang ahli anak, yang telah memiliki jabatan professor pediatri, mendiagnosanya sebagai penderita penebalan katup jantung, yang mengharuskannya meminum penoximethyl penicillin seumur hidupnya, serta agar dia sering beristirahat demi kesehatan jantungnya. Bila penyakitnya memang benar, maka itu adalah tindakan yang baik dan paling benar untuk kesehatannya. Namun, dalam kasus Hujan, perlakuan macam itu akan membunuhnya perlahan namun pasti, karena antibiotik itu justru akan memperburuk kondisi darahnya, dan istirahat yang berlebihan akan membunuh kelenturan dan kekuatan persendiannya serta otot-ototnya. Dalam hal ini, kasus Hujan benar-benar unik. Seorang perawat yang sudah hafal betul dengan Hujan berkata padaku bahwa Hujan sempat mengalami masa yang sangat sulit. Hujan yang aku lihat sekarang adalah salah satu keajaiban, katanya, karena ia terlihat cantik dan sempurna, seperti tanpa memiliki penyakit apapun. Namun dia tidak menceritakan padaku tentang detail dari ceritanya, karena keburu malam dan perawat bernama Ibu Nyoman itu telah keburu dijemput anaknya untuk pulang.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa tertantang untuk mengetahui tentang seseorang. Biasanya tidak semenantang ini. Gadis itu begitu sulit dibaca. Mungkin aku harus berteman dengannya, agar bisa mengetahui kisahnya, dan menghapus tiga tanda tanya besar dalam kolom pasien yang bertuliskan namanya. Toh, umur kami tidak beda jauh, seharusnya aku akan lebih mudah mengajaknya bicara, terlebih lagi ia terpelajar. Terpelajar? Itu kelebihan bagi Hujan, bukan untukku. Aku bisa terbunuh dengan pikiran-pikiran dan cara dia menanggapiku bila aku tak pintar-pintar memainkan situasi.
Ah, sebentar. Apa yang terjadi denganku? Mengapa aku begitu ingin tahu dan repot-repot menyusun strategi? Tidak, ini bukan apa-apa. Ini semua hanyalah satu bentuk obsesi biasa, rasa penasaran biasa yang terdorong oleh profesiku sebagai seorang psikolog. Tentu saja aku ada untuk menyelesaikan masalah psikologis yang dialami pasien. Ah, apa yang aku pikirkan. Tumben sekali pikiranku salah tingkah. Tiba-tiba aku merasa begitu bodoh.
Aku memarkir mobilku di parkiran biasa, lalu berjalan ke bangsal anak seperti biasa pula. Tidak semua ruangan aku kunjungi. Maksudku, tidak benar-benar setiap hari aku mengunjungi pasien. Paling tidak, bila pasien itu telah mengalami peningkatan psikis dan atau aku telah merasa mereka baik-baik saja, maka aku tidak merasa perlu mengunjunginya tiap hari. Kali ini aku berada di ruangan koas dan mendengar mereka membicarakan pasien-pasien, terutama Hujan. Karena ia adalah pasien yang terlihat paling berbeda dan tentu saja usianya sudah tidak bisa dibilang anak-anak lagi. Dan satu hal, mereka semua penasaran dengan Hujan. Ah, baiklah, aku lebih penasaran. Maka setelah aku mengunjungi beberapa ruangan, aku mengunjungi Hujan di ruangannya.
Bangsal VIP Cempaka Mulya no 7. Ruangan yang sama yang kemarin masih ditinggali oleh Hujan. Aku mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban. Karena penasaran, aku mengintip dari jendela. Tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dan,
“Whoaaa!”
Aku menjerit kaget hingga map-map di tanganku jatuh ke lantai. Saat aku berbalik, kudapati Hujan sedang berdiri tepat dihadapanku dan tertawa-tawa sambil memegang infusnya. Selintas kulihat tingginya tepat di bawah rahangku. Dan saat ia mencoba berjongkok untuk membantuku mengambil kertas-kertas yang berantakan, aku mencegahnya.
“Whoa whoa, Hujan. Udah ga usah, aku aja.”
“Hey, fine, I insist. Aku juga yang salah ngagetin kamu, hahaha”
Aku mencegahnya, dan tumben, ia menurut saja. Setelah aku punguti semua kertas yang jatuh tadi, aku membukakan pintu dan Hujan masuk duluan, lalu aku. Dia tersenyum lalu berterimakasih. Kemudian aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Kemudian kulihat ia cuci tangan di wastafel tepat di depanku. Kulihat dia mengenakan celana pendek warna biru dan lagi-lagi kaos longgar lengan panjang berwarna senada. Rambutnya digerai sepunggung dan berombak dan wajahnya sudah bersih saja pagi ini. Bibirnyapun diberi pelembab, namun tetap saja, pecah di bibirnya tak bisa membohongi suhu dalam tubuhnya yang sebenarnya. Entah apa, namun ia terlihat begitu menarik. Ah, bodoh! Psikolog macam apa aku ini! Tanpa sadar aku memukul kepalaku sendiri,
Plak!
Hujan menengok ke arahku dan terkejut,
“Loh, ada apa? Mas Galih?”
Dan aku masih bengong saja dengan sikap santainya yang sebenarnya agak kurang ajar itu.
“Ah, maaf, tadi ada nyamuk.”
“Oh.”
Kulihat ia menggantung infusnya di tiang infus dan berjalan ke arah sofa di samping televisi, lalu mematikan televisi itu. Hujan lalu membuka kulkas dan mengambil sekotak sari kacang hijau, ia juga mengambil satu yang tidak dimasukkan di kulkas. Ia menyodorkan sekotak dingin untukku. Dan dengan tololnya aku hanya duduk bengong di kursi tanpa membantunya memindah tiang infus itu.
“Nih, mas, buat kamu.”
Aku masih bengong.
“Mas?”
Hujan menempelkan kotak sari kacang hijau dingin itu di salah satu tanganku dan aku terkejut,
“Eh, ah, oh. Iya, makasih.”
Ia tersenyum, dan bukannya tidur di kasur pasien, ia malah duduk-duduk santai di sofa. Lalu ia mulai meminum sari kacang hijau itu dan berkata padaku,
“Aku sedang ga sibuk nih, lagi ga baca buku, anda psikolog kan? I’m sure you’ve got questions.
“Oh, iya. Saya ga ganggu kan?”
“Enggak mas, santai aja.”
Aku melihat sekeliling ruangan ini. Aku bingung mengapa Hujan sendirian saja, kemarin dan hari ini. Maka aku bertanya padanya.
“Mama papa kamu ga nungguin kamu opnam?”
“Enggak mas, aku lebih suka sendirian kalau pas terapi gini. Lagian kasian juga mereka, entar capek lagi. Orang akunya sendiri aja juga bisa kok, udah gede ini.”
Aku mengangguk-angguk perlahan sembari meminum minuman yang diberikan Hujan untukku, walaupun aku bukan penggemar kacang hijau.
“Kamu masih tinggal sama orangtua kamu kan Hujan?”
Aku melihatnya mempermainkan sedotan minuman kotak yang diminumnya tadi. Dia tersenyum kepadaku dan berkata,
“Enggak, mas. Aku ngontrak rumah sendiri. Aku tinggal sendiri. Nyari yang deket kampus.”
Agak terkejut aku mendengar jawabannya. Namun aku berusaha menanggapinya dengan biasa-biasa saja.
“Wow, mandiri banget ya.”
“Haha, ya harusnya gitu mas. Survive.”
Aku mengangguk lalu melanjutkan.
“You’ve got some job?”
Hujan mengangguk.
“What is it?”
“Writer.”
Aku tersedak sari kacang hijau yang sedang ku minum. Dan Hujan hanya tersenyum geli memperhatikan tingkahku. Aku begitu terkejut. Hujan adalah seorang pasien JRA selama sepuluh tahun, penulis dan aku tidak tahu? Baiklah. Perempuan ini benar-benar penuh kejutan.
“Wow, seriously? Published author?”
“Yap.”
“Genrenya?”
“Emmm… sama kaya lukisanku, mas. Surreal. Banyak realisnya juga sih kadang. Tapi mostly tentang orang yang sakit jiwa tapi ga ngerasa. Eksplorasi karakterisasinya akhirnya ya pake diskripsi surreal.”
Aku terkejut dengan penjelasannya.
“Oh, kamu juga ngelukis? Boleh aku liat?”
“Boleh banget.”
“Kamu bawa lukisannya?”
Hujan menggeleng.
“Yeah, fine.” kataku.
“Enggak di ruangan ini sih, ada di parkiran.”
“Kok di parkiran?”
“Motorku di parkiran mas, masak iya aku bawa di ruangan ini sih? Duh.”
            “Maksud kamu, kamu opnam sendiri di sini? Dan kamu bawa motor sendiri?”
            “Iya, mau gimana lagi? Toh cuma terapi methyl prednisolon ini kok.”
            “Emmm, okay okay. Jangan-tangan tadi kamu keluar buat manasin motor ya?”
            “Yap.”
             Entah apa yang harus aku katakan kali ini. Hujan memang benar-benar mengejutkan, terlalu mengejutkan untuk seorang pasien penyakit kronis. Lalu aku melihat jam dinding, jam 11 pagi. Artinya dia telah mendapat infus obat tadi pagi jam 8-9 dan sekarang dia sudah bebas untuk melakukan apapun sampai jam 4 sore. Lalu dia bertanya padaku,
            “Yuk mas, jadi ke parkiran?”
            Aku bengong dan bertanya,
            “Kaki kamu ga sakit ya? Nanti kalo capek gimana? Gini aja, aku bawa kunci kamu, kamu kasih tau platnya terus aku ambil lukisan kamu, gimana?”
            “Hmmm, udah hampir makan siang mas.”
            “So?”
            “Aku bosen makan makanan rumah sakit terus, gimana kalau sekalian makan di kafetaria aja? Kalau mas ga mau, fine. Aku makan sendiri, hehehe.”
            Dalam hati aku mengeluh, wah!
            “Duh, kamu ini pasien bandel ya kayanya. Mending sama aku aja sini, daripada sendirian gotong-gotong infus gitu, aku ngeri liatnya ih. Aku bawain tiang infus sekalian ya? Di kafetaria ga ada tiang infus loh.”
            “Ya ampun, gampang kalik, tinggal gantungin di paku aja kan ada, hehehe”
            Aku menggeleng-geleng sambil tersenyum melihat keanehan sikap sekaligus sifatnya itu. Dan satu hal, tunggu sebentar… apa yang aku lakukan kali ini? Aku sedang menggotong tiang infus setelah meninggalkan mapku di ruang koas. Menggotong tiang infus dari ruang bangsal ke parkiran dan kembali lagi melewati bangsal untuk ke kafetaria yang penuh dengan dokter dan koas yang sedang makan siang di sana dan aku ke sana dengan seorang pasien? Aneh memang, namun rasa penasaranku lebih menyiksa. Hujan adalah seorang pasien yang terlalu ceria. Dan aku tahu, mungkin saja aku salah tentangnya.
            Sesampainya di parkiran, Hujan membuka jok motornya. Kulihat sebuah motor otomatis kekinian terparkir di sana. Lalu ia menyodorkan padaku sebuah sketch book miliknya.
            “Nih, kamu boleh liat sekarang.”
            Aku celingukan mencari tempat duduk. Melihatku celingukan Hujan juga ikut menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu dia menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kiri dan berkata,
            “Ada apa mas?”
            “Enggak, cuma bingung aja kok ga ada kursi di sini, takutnya kamu capek. Kamu capek gak?”
            “Enggak kok. Yuk, langsung ke kafetaria aja?”
            “Okay.”
                        Di kafetaria rumah sakit, Hujan hanya memesan teh hangat dan sandwich sayur-sayuran. Aku melihatnya dengan begitu heran. Sepertinya makanan yang ia makan justru tidak seenak yang disediakan oleh bangsal anak. Aku begitu tergelitik untuk bertanya,
            “Sandwichnya ga pake daging ya Hujan? Harusnya kan ada dagingnya kan?”
            Ia meringis sambil mengunyah makanannya dengan santai di hadapanku, di hadapan wajahku. Pasien kurang ajar, namun aku memaafkannya. Ia berkata sembari mengunyah,
            “Aku ga tega bayangin pas hewannya disembelih, mas.”
            Aku mengernyit heran. Dia meneruskan.
            “Bukan berarti nyembelih hewan itu generally jahat loh, aku cuma ga tega nancepin gigiku di kaki, paha, dada dan apapun punyanya sapi, ayam atau kambing, ga tega aja. Dan menurutku daging itu rasanya penuh banget di perut, hehehe.”
            Tiba-tiba bakso goreng di mulutku terasa begitu aneh. Namun tetap kutelan.
            “Jadi kamu semacam vegan?”
            Ia menggeleng.
            “Aku masih minum susu dan makan keju kok. kadang pas bisa tega ya makan ikan juga.”
            Aku mengangguk, tidak mengerti. Kami berdua terdiam sembari makan, terkadang ada teman-teman dokter atau koas yang datang menghampiriku dan merangkul pundakku atau mengelus-elus kepalaku. Ah, aku mengerti maksud gesture macam ini. Namun aku tidak mempedulikannya sedikitpun. Aku sedang melakukan pekerjaanku, dan memuaskan rasa penasaranku terhadap pasien ajaib ini.
            Setelah makananku habis, aku lihat Hujan hanya terdiam sambil sesekali melihat sekeliling. Ada sebuah televisi besar di sebelah kiri depannya, namun ia terlihat sama sekali tidak tertarik dengan alat datar dan lebar itu. Aku bertanya.
            “Kamu ga suka nonton tv ya?”
            “Suka kok, tapi tv lokal dan paling tv negara, acaranya waras. No one’s hurt for a stupid joke.”
            Aku terkekeh dengan pernyataannya, dan ia hanya memutar matanya. Perhatianku beralih pada sketch book miliknya. Aku mulai buka lembar demi lembar. Lukisan pertama adalah sebuah sketsa wajah perempuan hitam putih. Wanita itu berambut pendek dan lurus, ia tak memiliki mulut. Di lembar selanjutnya, aku melihat gambar yang pewarnaannya tidak masuk akal dilihat dari objek yang digambarnya, yaitu sebuah tangan yang mengepal, dan tiga gunung di bawahnya. Di gambar selanjutnya aku melihat sebuah kuas kabuki, kuas untuk kosmetik, pewarnaanya begitu realis, namun lingkungan sekitar kuas itu tidaklah realistis sama sekali, warna merah muda tanpa pola tercecer di sekitar kuas itu sebagai sebuah aurora, menarik, pikirku. Di belakangnya lagi kutemukan sebuah lukisan yang berdasar dada dan perut wanita secara penuh, namun si sisi kanan terdapat pohon jati dengan pewarnaan naturalis, di bagian bawah, terdapat danau dengan pewarnaan yang naturalis juga. Sayangnya aku tidak mengerti, mengapa ia memilih warna merah muda lagi sebagai kain transparan yang menutup sebagian perut wanita itu. begitulah jenis-jenis lukisannya yang begitu aneh dan surreal.
Sampai akhirnya aku tiba di bagian paling belakang dari sketch book itu dan menemukan lukisan yang menurutku menarik. Dua orang laki-laki dan perempuan duduk bersamaan di tanah lapang berwarna cokelat dengan gradasi warna yang begitu naïf. Langit yang ditatap kedua orang itupun berbeda warna, pada sisi kiri, tempat si perempuan, warnanya hijau. Sedangkan pada sisi kanan, tempat langit si laki-laki, warnanya merah tanpa gradasi apapun. Di belakang mereka terdapat satu kuburan yang diberi warna merah bata. Mataku mengernyit melihat lukisan itu, ketika kemudian aku mendengar Hujan berkata,
            “Boring banget ya pasti kerja di rumah sakit? Do you have fun?”
            Aku meliriknya dan berfikir sejenak.
            “Yes, I do. Kuliah dan kerja di psikologi itu salah satu hal baru yang nyenengin buat aku sih. Kadang boring juga. Kamu gimana? Studi kamu sastra inggris kan? Memang minat di situ ya?”
            Hujan tersenyum, lalu menjawab.
            “Sebenernya kalo ngomongin minat, bingung juga sih. Dulu aku ngedaftar di psikologi ga diterima sebenernya. Diterimanya di sastra inggris, hehehe”
            Dia berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku merasa agak terkejut dengan jawabannya. Ternyata dia ingin kuliah di jurusan psikologi. Ah, aku harus lebih berhati-hati. Belum juga aku menjawab, dia sudah mengatakan.
            “Sebenernya, kalo ngomongin minat yangbener-bener minat, ya di sastra Indonesia. Tapi daftar pun enggak, ya udah refreshing dikitlah di sastra inggris, hahaha”
            “Kuliah kamu anggap refreshing? Aneh-aneh aja deh Jan, haha”
            “Bener kok tapi, hidupku datar sih mas, gini-gini aja, ga ada yang menarik. Di dalam kuliah kan kita nemu banyak kesulitan. Skripsi tuh contohnya. Kadang kesel sama skripsi, tapi pas ngerasa kesulitan, justru di situlah aku ngerasa hidup.”
            Katanya sambil melirik kepadaku dan tersenyum. Hatiku bergetar oleh ucapannya yang begitu jujur namun kurang benar. Makin menarik saja dia.
            “Hmmm, kamu kenapa dulu kok pengen kuliah di psikologi?”
            “Karena aku bisa bikin temen-temenku ngerasa lebih baik pas mereka down. Dan, kadang, pas lagi jahat aku bisa bikin orang-orang yang jahat sama aku, atau temen-temenku down, atau maksimal, depresi. Yang terakhir, sebenernya dulu, aku pingin banget jadi dokter, tapi ga kuat di matematika dan kimia, hehehe.”
            “Serius?”
            “Banget.”
            “Hahaha, lucu ya?”
            Kulihat dia hanya tersenyum. Aku berfikir, dia tidak akan pernah sejujur ini dengan orang lain, bila dia memang memiliki karakter yang dia bilang kepadaku. Mungkin dia melakukannya dengan sengaja. Menyebalkan, tapi aku menikmatinya. Lalu kulihat dia mengambil pensil di selipan sketch booknya dengan tangan kirinya. Lalu ia memandang wajahku selama beberapa detik. Aku salah tingkah namun balas menatapnya, aku pura-pura berani. Lalu ia berkata padaku.
            “Aku boleh gambar kamu ga mas? Lagi sepi objek nih.”
            Aku bingung dan menggaruk-garuk kepalaku, lalu berkata,
            “Boleh sih.”
            Kulihat ia tersenyum dan memegang pensil 2B dengan tangan kiri. Sesekali ia menatapiku. Aku pura-pura tidak tahu dan melihat ke sekeliling. Lalu aku melirik bukunya dan melihatnya menggambar sebuah mata, kemudian dia berhenti menggambar dan menutup sketchbooknya. Aku mengabaikannya, agar dia tidak merasa diawasi. Kudengar ia menghembuskan napas.
            “Hmmm, baru ini yang bisa aku gambar.”
            “Satu mata?” tanyaku heran.
            “Iya, baru itu yang bisa aku kenali mas, hehehe.”
            “Okay, semua butuh proses kok hujan, iya kan?”
            “Yap.”
            Setelah kejadian di kantin hari ini, aku berniat menemuinya besok, karena Hujan masih akan melakukan terapinya dalam waktu 5 hari lagi. Cukup banyak waktu untuk menanyainya banyak hal. Dan besok lusa, karena besok hari minggu dan libur, aku akan mulai menanyainya tentang JRA. Aku yakin dengan penuh bahwa ia tak akan keberatan. Begitu banyak keterbukaan yang sengaja Hujan lakukan, aku merasakannya, meski aku belum mengerti tujuannya melakukan hal itu. Namun, tak semua hal harus segera dimengerti. Beberapa hal perlu penggalian untuk ditemukan. Aku akan mencoba. Tantangku kepada diri sendiri.
***

Senin, 01 Juli 2013

Oranye



“Aku melihat kamu, saat ini.
Dalam ruangan yang hampa, tanpa udara.
Segalanya berwarna oranye, dan aku adalah titik di sudut kanan.
Kamu mendatangiku, kamu menyentuh wajahku.
Wajah… mengapa wajahku begitu peka dan perasa…
Pipiku memerah dengan keberadaanmu yang begitu menyejukkan…
Aku merasa seperti seorang gadis lugu yang percaya akan kedatangan seorang pangeran.
Dan begitulah kamu…
Wajah.. wajah yang begitu tampan…
Tangan yang begitu perkasa…
Lalu hilang perkasanya.
Kala ia meraba dada, dua buah dada…
Begitu lembut, menenangkan, menyamankan…
Mengapa menyamankan, bila dua buah dada yang diraba ini membuatku begitu malu?
Karena dibaliknya, ada hati yang turut diraba, lalu digenggam.
Dimiliki, lalu dilindungi.
Aku kamu miliki.
Aku kamu lindungi.

Bila cahaya sekitarku adalah oranye.
Aku adalah titik hitamnya.
Bila aku adalah titik hitamnya, begitu juga dengan kamu.
Titik hitam..
Mengapa aku harus titik hitam?
Mengapa kamu juga harus titik hitam?
Mengapa lalu, hitam dianggap cemar?
Mengapa kini aku merasa cemar?
Kita beradu, kita berpadu, kita menyatu
Oranye menjadi hitam, titik dua menjadi lebur.
Aurora menjadi abu-abu.
Segalanya menjadi mengabu.
Mengabu lalu menghitam.
Aku terisak, kamu mendesak.
Aku tersengal, kamu menjejal.
Aku tak kunjung menjadi binal.
Tak ada binal, hanyalah sesal.

Segalanya menggelap dan menjadi suram.
Peluh pun bercucuran tanpa bisa diredam.
Airmata menetes kala kamu pergi dari sisi.
Arah sesembahan menjadi lebih berarti dari diri.
Kesucian hilang, engkau melayang.
Kembali aku sendiri menjadi titik hitam di sudut kanan.
Dalam warna oranye dari sebuah ruang.

Warna oranye adalah warna yang muncul dalam citra mataku.
Nyatanya, di dalam warna itu, merahlah yang menjadi pewarna.
Dan aku hanyalah kuning di balik hitam yang sendiri.
Merahpun mencuat,
Merahpun menghujat,
Merahpun menghantam,
Merah yang muncul di awal sebelum kemunculanku,
Merah yang mengalir dari sisiku.
Merah yang berisi catatan hampir sama denganku.
Merah yang menunjukkan kami sedarah.

Lalu aku melihat dua wajah, dan kulihat kamu berdarah.
“Bajingan!”
Teriak sang merah, sembari tangannya mendarat di permukaan .
Aku menangis terisak, menolak kamu dinamai bajingan.
Aku menangis terisak, menyetujui bahwa kamu bajingan.
Aku tersengal dan memegangi dada.
Tak ada sayatan namun terasa luka.
Pejaman matapun tak mampu menghilangkan lara.

Lalu dirikupun terbelah menjadi dua.
Kulihat wujudnya yang begitu sama.
Namun lihatlah matanya, begitu berbeda.
Aku tidak melihat diriku yang kukenal di sana.
Tubuhnya sintal, geriknya binal.
Dengan matanya yang menyala, ia berbisik namun berteriak kepadaku,

“Kamu bukanlah korban
Kamu tahu persis apa yang akan dia lakukan
Kamu hanya merasa dirimu perempuan
Kamu merasa pantas menyalahkan
Kamu tahu akan banyak iba berdatangan
Kamu memang berduka atas keberadaan ukuran kesucian
Namun kamu tak pantas merasa kehilangan”

Aku tak ingin tahu menau tentang pendapatnya
Kesucianku telah dirobek paksa
Aku pantas merasa sia-sia
Aku pantas merasa terhina
Aku adalah korban
Aku ditinggalkan
Dan aku pantas merasa kehilangan.”